1.1. Sejarah Pembentukan Komunitas Toro yang Multietnis
Desa Toro terletak di sisi barat Taman Nasional Lore Lindu dengan jarak sekitar 15 km dari ibukota kecamatan di Bolapapu dan sekitar 86 km dari kota Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis, desa ini terletak menjorok ke dalam kawasan hutan yang ditetapkan sebagai Taman Nasional, dengan hanya ada satu celah jalan sempit dan berkelok-kelok yang menghubungkannya ke desa-desa sekitar. Letak geografis ini menjadikan desa studi nyaris merupakan kawasan enclave di mana sekeliling areal pemukimannya berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional (lihat peta di bawah).
Peta Taman Nasioal Lore Lindu dan Lokasi Desa Toro
segi etnis, penduduk asli desa ini termasuk etnis Moma yang merupakan etnis mayoritas di Kecamatan Kulawi. Meski demikian, mereka membedakan dirinya dari desa-desa lain di sekitarnya, dan dari etnis Moma lainnya, berdasarkan kekhasan ekologi budaya dan mitos asal-usulnya yang tersendiri. Pembedaan semacam ini secara kultural sangat bermakna dari sisi identifikasi kolektif komunitas ini di mana mereka menampilkan diri sebagai variasi sub-kultur yang distingtif dan istimewa.
Menurut mitos setempat, penduduk asli Toro berasal dari kampung Malino yang terletak kurang lebih 40 km ke arah Timur Laut dari desa yang dihuni saat ini. Alkisah, sekian ratus tahun lampau, kampung asal mereka diserbu oleh makhluk halus (bunian) yang tidak terlihat. Hampir seluruh penduduknya terbunuh kecuali beberapa keluarga yang berhasil menyelamatkan diri. Setelah menempuh perjalanan panjang dan berpindah-pindah, beberapa keluarga yang tersisa ini akhirnya tiba di salah satu lembah Kulawi dan tinggal menetap di sini.[1] Untuk seterusnya, para pelarian ini kemudian tinggal dan beranak pinak di lokasi yang ditempati hingga saat ini setelah mereka membelinya dari penguasa di Kulawi dengan harga enam keping emas sebesar burung pipit. Desa baru ini kemudian mereka namakan “Toro” yang berarti “sisa” untuk mengenang keberadaan mereka sendiri kelompok yang tersisa dan selamat dari serbuan orang bunian.[2]
Secara kultural, penegasan mitos asal-usul (etnogoni) ini merupakan bagian dari identifikasi kelompok dan penumbuhan kesadaran akan kesatuan dan sekaligus perbedaan. Dengan demikian, meskipun mitos mengisahkan kejadian-kejadian yang secara nyata tidak ditemui di dunia ini, namun mitos bukanlah cerita kosong belaka. Dalam masyarakat tradisional (dan bahkan masyarakat modern sekalipun), mitos merupakan unsur utama pembentuk “angan-angan sosial” yang memberi identitas pada suatu kelompok dan makna pada sejarahnya (Arkoun 1994). Pernyataan mitis tentang kejadian asal-usul di masa lalu, dengan demikian, memiliki arti yang sangat signifikan bagi peneguhan identitas komunitas. Hal yang sama terlebih lagi berlaku pada komunitas Toro yang multietnis ini demi mewujudkan integrasi sosial serta mereproduksikan tatanan sosial yang ada kepada segenap anggota komunitas yang berbeda-beda latar belakang.
Keberadaan masyarakat Toro kontemporer yang bercorak multietnis tidak terlepas dari sejarah pergerakan demografis di kawasan ini yang berlangsung sejak tahapnya yang paling dini. Pada masa pra-kolonial, keberadaan etnis pendatang terutama berasal dari hubungan perkawinan antarsuku. Namun gelombang migrasi yang massif dan yang mengubah lanskap budaya desa ini secara drastis baru terjadi sejak dasawarsa 1950-an. Gelombang migrasi ini melibatkan dua etnis, yaitu etnis Rampi dari daerah Sulawesi Selatan dan etnis Uma dari wilayah Kulawi barat.
Kedatangan etnis Rampi terjadi sebagai imbas pergolakan politik yang terjadi di Sulawesi pasca-kemerdekaan, yakni Peristiwa DI/TII dan PRRI/Permesta. Pergolakan ini telah memaksa etnis-etnis minoritas seperti Rampi dan Seko di selatan mengungsi dan berdiaspora ke mana-mana. Gelombang pengungsian orang Rampi ke desa studi ini terjadi melalui dua tahap, yaitu pada tahun 1952-1953 dan 1959-1960. Pengungsian tahap pertama terjadi karena peristiwa Pergolakan DI/TII pada awal 1950-an di Sulawesi Selatan. Menurut penuturan informan, pergolakan politik ini memaksa sebagian besar orang Rampi mengungsi dan berdiaspora ke mana-mana, seperti ke Bada, Poso, dan juga ke desa Toro. Alasan kedatangan ke desa terakhir ini karena sebelumnya memang sudah ada keluarga dari Rampi yang tinggal di desa ini melalui perkawinan lintas suku.
Setiba di Toro, semua pengungsi ini mendapatkan tanah dari Kepala Kampung yang menjabat saat itu, yaitu Kadera. Sesuai pembagian lahannya, para pengungsi ini mula-mula membangun pemukiman di wilayah lereng bukit yang kini telah dibuka menjadi jalan masuk desa ini. Setelah itu mereka pun memindahkan pemukimannya di sisi jalan menuju Kulawi yang sekarang ini menjadi Dusun V (Roupa).
Pengungsian orang Rampi tahap kedua terjadi tidak lama setelahnya, yaitu pada tahun 1959-1960. Pengungsian kali ini disebabkan oleh pergolakan Permesta yang berlangsung di wilayah Sulawesi Tengah dan Utara. Orang-orang Rampi yang pada pengungsian pertama pergi ke daerah Bada di Lore Selatan kembali terkena imbas pergolakan bersenjata. Akhirnya, mereka mengungsi untuk kedua kalinya ke beberapa tempat di wilayah Kulawi, termasuk ke desa Toro. Seperti pengungsian sebelumnya, mereka juga memperoleh pembagian lahan dari Kepala Kampung Toro. Lokasi lahan yang dibagikan termasuk lahan yang kemudian menjadi pemukiman mereka saat ini, yakni Dusun IV (Lengkoue).
Kurang lebih sewindu berikutnya (1968), migrasi kelompok etnis lain masuk ke desa ini, yaitu dari etnis Uma yang berasal dari Kulawi bagian barat. Kedatangan etnis Uma ini sebagian bersifat spontan dan sebagian lagi merupakan bagian program pemerintah untuk memindahkan penduduk terisolir ke daerah yang lebih terjangkau oleh pelayanan dan kontrol administrasi pemerintah. Etnis Uma yang dipindahkan pemerintah ke desa Toro ini adalah warga etnis Uma yang berasal dari desa Lonca dan Winatu.[3] Mereka ini ditempatkan di bagian ujung tenggara desa Toro yang kini menjadi Dusun VI (Nente Baru). Selain lahan pemukiman, mereka juga disediakan lokasi untuk pertanian. Pembagian lahan untuk etnis Uma ini dilakukan oleh Pateke Tohuwu sebagai Kepala Kampung waktu itu. Namun, berbeda dari kasus migrasi sebelumnya, pembagian lahan oleh Pateke Tohuwu ini dilakukan melalui transaksi jual beli, meski dengan harga sekedarnya, dan tidak lagi melalui pemberian lahan secara cuma-cuma.
Dengan sejarah demografi ini, maka komposisi penduduk Toro saat ini terdiri atas tiga etnis penting, yaitu etnis Moma sebagai penduduk asli dan etnis Rampi serta Uma sebagai etnis pendatang. Selain itu ada segelintir penduduk dari berbagai etnis lain yang datang dan menetap ke desa ini secara migrasi spontan. Dari jumlah populasi desa yang kini mencapai sekitar 2070 jiwa, etnis Moma adalah mayoritas, disusul etnis Rampi dan berikutnya etnis Uma.
Yang menarik, selain komposisi penduduk desa ini ditandai oleh keberadaan etnis pendatang dalam jumlah yang signifikan, dari segi teritorial keragaman etnis ini juga telah menciptakan struktur pemukiman yang terdistribusi menurut garis etnis sehingga melahirkan dusun-dusun dengan komposisi penduduk yang secara etnis relatif homogen. Hal ini tidak terlepas dari gelombang migrasi itu sendiri yang setiap tahapannya hanya melibatkan kelompok etnis tertentu, serta dengan pengalokasian lahan yang terpusat di lokasi berbeda untuk setiap kelompok etnis.
Saat ini penduduk etnis asli (Moma) terkonsentrasi di “dusun-dusun asli”, yaitu di Dusun I (Bola), Dusun II (Bulu-Lempe), dan Dusun III (Kinta) serta di sebagian Dusun IV (Lengkoue). Sedangkan pengungsian etnis Rampi yang datang pada tahap pertama (1952-1953) membentuk pemukiman di Dusun V (Roupa) dan sebagiannya tinggal di Dusun IV. Pengungsian etnis ini yang datang pada tahap berikutnya (1959-1960) sebagian besar bermukim di Dusun IV. Sebagian lagi, dan ditambah pecahan keluarga baru etnis Rampi dari desa-desa tetangga, kemudian disediakan lahan baru di lokasi yang kini menjadi Dusun VII (Bulukuku). Hal ini terjadi pada akhir tahun 1970-an yang pembagiannya dilakukan oleh Kepala Desa yang memerintah saat itu, yaitu P. Toheke. Sedangkan etnis Uma sejak dari awal tinggal di ujung tenggara desa yang kemudian menjadi dusun tersendiri, yaitu Dusun VI (Nente Baru).
1.2. Struktur Sosial dan Sistem Kepemimpinan Tradisional
Seperti halnya desa-desa sekitarnya, struktur sosial tradisional di desa Toro pada masa lampau terdiri atas tiga lapisan sosial yang bersifat hirarkis, yaitu Maradika atau kelompok bangsawan, Todea atau rakyat biasa, dan Batua atau budak. Secara sosiologis, status kebangsawanan lapisan pertama diperoleh dari hubungan keturunan dengan pendiri dan pemukim pertama di Toro. Hal ini terkait dengan satu prinsip yang lazim berlaku di komunitas-komunitas pra-negara, yaitu “mereka yang pertama adalah mereka yang mendapat”. Penerapan atas prinsip ini menempatkan Mpone dan keturunannya sebagai kelompok bangsawan di Toro. Sebab, sesuai mitos setempat, Mpone inilah kepala rombongan pengungsi Malino dan merupakan orang yang paling berperan dalam sejarah pembukaan Toro untuk dijadikan pemukiman dan komunitas.
Dari segi struktur kemasyarakatan, mitos sejarah pendirian komunitas dan pengakuan akan garis-garis keturunan menjadi landasan pengabsahan kekuasaan kalangan Maradika ini. Landasan inilah yang membentuk pola kekuasaan dan kepemimpinan yang disebut Max Weber sebagai gentil-charisma, di mana karisma pribadi seorang pemimpin dapat diturunkan kepada keturunannya, yang kemudian menggantikan kedudukannya. Berdasarkan pada pola pemikiran karismatis yang berlaku di Toro, maka kelompok Maradika merupakan salah satu simpul integrasi yang penting dalam masyarakat ini sesuai dengan status dan peranan tradisional yang dipegangnya.
Pertama, kelompok Maradika ini merupakan primus inter pares yang amat dihormati dan diutamakan karena karisma pribadi, kepemimpinan dan kemurahan hatinya. Kedudukan ini secara budaya kemudian disimbolisasi dengan menganggap mereka sebagai penjamin tata tertib kosmis dan keteraturan sosial. Kedua, Maradika ini secara aktual juga memegang kendali atas sumber-sumber kekuasaan politik dan ekonomi serta mekanisme redistribusinya di tengah masyarakat. Kelompok inilah yang menjadi pihak penerima persembahan (pepue) dari masyarakat setiap kali panen. Mereka juga merupakan kelompok tuan tanah karena memiliki kemampuan untuk memobilisasi tenaga kerja (biasanya di antara budak mereka) untuk membuka hutan. Namun, hal ini juga diimbangi dengan logika resiprositas tradisional, misalnya dampak “peningkatan kekuatan hidup” (tinuwui) yang dipercaya akan diterima oleh pihak pemberi persembahan, di samping hadiah-hadiah yang akan mereka terima yang menjadi keharusan bagi Maradika untuk memberikannya. Tak kurang dari itu, Maradika juga berkewajiban mensponsori upacara-upacara adat dan keagamaan yang cukup mewah yang melaluinya berlangsung mekanisme redistribusi kepada seluruh anggota komunitas.
Lapisan sosial kedua, yaitu Todea atau orang biasa, adalah lapisan yang terdiri atas orang-orang bebas yang tidak terikat pada satu beban atau kewajiban yang sifatnya menetap, demikian juga tidak memiliki hak yang bersifat istimewa atas kelompok lainnya. Mereka adalah “orang-orang pada umumnya” yang memiliki harta benda sendiri serta mengolah sawah dan ladang sendiri meskipun luasnya terbatas.
Todea memiliki kewajiban untuk membantu keluarga Maradika, terlibat dalam kegiatan sosial di desa dan berpartisipasi dalam upacara-upacara keagamaan dan festival adat pada umumnya. Namun, berbeda dari Batua, partisipasi kelompok Todea dalam semua kegiatan di atas didasarkan prinsip kesukarelaan dan bukan karena dibebani kewajiban yang permanen. Bagaimanapun juga, dalam kebudayaan dan pergaulan tradisional Kulawi, kesukarelaan dan kemurahan hati merupakan nilai yang sangat dihargai serta menentukan martabat moral dan harga diri. Oleh karena itu, secara aktual, peranan dan keterlibatan kelompok Todea ini sangat menentukan dalam ritme dan rutinitas kehidupan komunitas.
Lapisan sosial paling bawah, yaitu Batua, merupakan kelompok masyarakat pengabdi yang tidak mempunyai hak apapun selain kewajiban mengabdi. Orang yang termasuk kelompok ini hidup dan bekerja untuk orang lain. Terbentuknya Batua ini terjadi melalui dua penyebab. Pertama, Batua berasal dari anggota suku itu sendiri (autochton atau asli), namun posisinya merosot ke lapisan paling bawah setelah ia melanggar aturan adat dan tidak mampu memulihkannya menurut aturan adat (ritus, denda dan lain-lain). Seorang Maradika akhirnya turun tangan untuk mengambil alih pelaksanaan sanksi adat itu (kalau tidak, yang bersangkutan bisa dibunuh ataupun diusir), namun konsekuensinya, orang yang bersalah ini akan menjadi budak dari Maradika pelindungnya. Kedua, Batua juga bisa berasal dari suku lain, misalnya melalui pemberian budak dari desa sekutu sebagai tanda persahabatan atau simbol ketaklukan. Bisa juga ia berasal dari suku lain yang ditawan dalam peperangan antar-suku, untuk selanjutnya dijadikan sebagai budak. Hak satu-satunya yang dimiliki oleh kelompok batua ini adalah mereka dapat mengusahakan untuk “menempatkan dirinya sendiri” (montolo woto), artinya berhak untuk membayar kebebasannya. Hal ini dilakukan dengan menebus kembali denda yang pernah dibayarkan oleh Maradika pelindungnya, atau dalam kasus lain dengan mengadakan serangkaian ritual tertentu (Garang 1985).
Perbedaan antar ketiga lapisan sosial ini dapat diidentifikasi secara jelas dari pakaian yang dikenakan, cara bertutur dan bertingkah laku, ataupun bentuk-bentuk keterlibatan dalam kegiatan adat. Meskipun perbudakan sudah dihapuskan semenjak masa pemerintahan Belanda, namun perbedaan ini secara samar-samar masih bisa diidentifikasi hingga sekarang melalui silsilah keturunan, partisipasi dalam upacara-upacara adat, ataupun jumlah mahar yang harus dibayarkan dalam perkawinan adat.
Sejalan dengan struktur hirarki di atas, sistem kepemimpinan tradisional yang berlaku pada masyarakat Kulawi hanya bisa direkrut dari lapisan sosial pertama, yaitu kelompok bangsawan (Maradika). Pada masa pra-kolonial, sistem kepemimpinan tradisional ini terdiri atas dua lembaga kepemimpinan, yaitu (1) Totua Ngata dan (2) Maradika.[4]
Totua Ngata adalah dewan tetua kampung yang menjalankan kepemimpinan secara kolektif. Dewan inilah yang secara nyata menangani segala urusan desa, baik menyangkut urusan internal desa (irara ngata) seperti masalah pertanian, rencana pembukaan lahan, penyelenggaraan upacara adat, dan lain-lain, ataupun urusan luar desa (hawaliku ngata) seperti kerja sama dan federasi antardesa, pernyataan perang dengan suku lain, dan sebagainya. Selain itu, dewan ini juga menjadi majelis peradilan lokal yang menangani kasus-kasus pelanggaran adat dan etika sosial serta melakukan proses arbitrase dan rekonsiliasi atas kasus-kasus sengketa di antara anggota masyarakat.
Anggota dewan ini adalah keturunan bangsawan (Maradika) yang berkat kedudukan, perilaku, pengetahuan, dan kebijaksanaannya menjadi tokoh rujukan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Salah satu komponen dalam dewan ini adalah tokoh-tokoh perempuan yang disebut Tina Ngata yang persetujuannya selalu dimintakan dalam setiap keputusan yang akan diambil oleh dewan ini. Para tokoh perempuan ini bahkan memiliki semacam hak veto untuk persolan-persoalan yang terkait dengan konflik dan penyelesaiannya. Peran perempuan semacam ini tidak terlepas dari status kulturalnya yang dipandang sebagai pabolia ada, yaitu penyimpan dan penerus adat.[5]
Lembaga kepemimpinan tradisional yang kedua, yakni Maradika, adalah seseorang yang dipilih oleh Totua Ngata untuk menjadi kepala suku komunitas bersangkutan. Salah satu kriteria pokok dalam pemilihan Maradika ini, selain faktor keturunan dan kapasitas kepemimpinan, adalah faktor kekayaan dan penguasaannya atas aset-aset ekonomi. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan Maradika sebagai tempat perlindungan (asylum) bagi mereka yang melanggar aturan adat dan tidak mampu memenuhi sanksi yang mestinya ia tanggung. Dalam kondisi ini, Maradika dituntut untuk mengambil alih tanggung jawab orang tadi dengan membayar denda (givu) kepada pihak yang dirugikan, yang tanpa perlindungannya orang bersalah tadi bisa dibunuh atau diusir.
Meskipun Maradika tidak menjalankan secara langsung urusan pemerintahan sehari-hari (yang dilaksanakan oleh Totua Ngata), namun ia dianggap sebagai simbol kesatuan komunitas. Oleh karena itu, Maradika selalu diminta kehadirannya dalam musyawarah dewan Totua Ngata dan pendapat-pendapatnya akan menjadi bahan pertimbangan yang menentukan dalam setiap pengambilan keputusan.
1.3. Transformasi Sistem Kepemimpinan Tradisional
Semenjak kehadiran penguasa kolonial Belanda di kawasan ini, maka fungsi dan peranan kepemimpinan tradisional seperti yang dikemukakan di atas mengalami perubahan yang mendasar. Kebutuhan atas kontrol dan koordinasi yang lebih ketat mendorong penguasa kolonial menetapkan Maradika sebagai Kepala Kampung yang berperan menjalankan fungsi pemerintahan sehari-hari di desa secara langsung. Meskipun kebijakan ini tidak segera merubah struktur kepemimpinan lokal yang ada (karena setiap keputusan selalu ditetapkan melalui proses musyawarah), namun kebijakan itu dalam jangka panjang telah menyebabkan kemerosotan posisi Totua Ngata. Sebab, peranannya kini terbatas pada penyelenggaraan urusan peradilan dan upacara adat semata, tanpa berwenang lagi menangani urusan pemerintahan desa secara langsung.
Hal ini terus berlanjut hingga pemerintahan pasca-kemerdekaan, terutama sejak diberlakukannya struktur “desa” sebagai unit pemerintahan terkecil melalui UU Pemerintahan Daerah Nomor 15/1979. Melalui Undang-undang ini Kepala Desa dipilih secara langsung oleh rakyat, namun pada saat yang sama ia juga bagian dari birokrasi yang bertanggung jawab kepada Camat sebagai atasannya dalam hirarki struktur administrasi pemerintahan. Secara demikian, maka kedudukan Kepala Desa secara formal terlepas dari ikatan dengan rakyat dan menjadi bagian dari strategi korporatisme yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru.
Pada saat yang sama, eksistensi Totua Ngata secara formal tidak diakui selain sebatas sebagai lembaga permusyawaratan dalam bentuk LKMD. Artinya, ia tidak memiliki kewenangan apapun karena kedudukannya di LKMD tersebut adalah sebagai anggota di bawah Kepala Desa yang sekaligus menjabat sebagai Ketua dari LKMD itu sendiri. Posisi ini hanya sedikit berubah setelah adanya UU Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999 yang membuka peluang bagi keberadaan lembaga adat di setiap desa. Namun, UU ini juga memperkenalkan lembaga baru yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) sehingga peran Lembaga Adat menjadi kian ambigu.
Terlepas dari perkembangan yang didesakkan oleh kebijakan negara di atas, bagaimanapun sistem kepemimpinan lokal ini membentuk keterkaitan fungsional yang erat dengan aspek-aspek sosio-kultural lainnya. Pada lingkungan tradisionalnya, yang sebagian masih bertahan hingga kini, sistem kepemimpinan dan pelapisan sosial ini—bersama dengan sistem religi dan mitologi, sistem perkawinan dan kekerabatan, serta sistem hukum adat dan tertib sosial—membentuk integrasi sosial masyarakat Toro secara kognitif dan struktural,[6] seperti terlihat dalam bagan berikut ini.
Gambar 2
Hubungan Fungsional Berbagai Aspek Sosio-Kultural
Meskipun berbagai aspek sosio-kultural tradisional di atas telah mengalami perubahan yang mendasar sebagai akibat dari intervensi kebijakan negara, meluasnya pengaruh agama Kristen dan Islam, serta integrasi ke dalam sistem nasional dan pasar yang lebih luas, namun hal itu tidaklah menyisihkan sama sekali segi-segi kehidupan tradisional masyarakat Toro yang pada beberapa aspeknya terus bertahan. Hal ini terutama menyangkut aspek “struktur dalam” (deep structure), yakni berupa logika budaya, motivasi tindakan dan kerangka kultural bagi relasi sosial (Acciaioli 2001).[7] Aspek-aspek inilah yang—sebagai “kompetensi budaya yang mendalam”—terus hadir dan membentuk “sejarah efektif” (dalam istilah hermeneutika Gadamer) pada masyarakat Toro, terlepas dari berbagai perubahan pada “struktur permukaan” (surface structure). (Bandingkan Aragon 2000)
2. Rezim Tradisional Pengelolaan Sumberdaya Alam
Bersama dengan berbagai aspek sosio-kultural seperti dikemukakan di atas, rezim tradisional pengelolaan sumberdaya alam merupakan sarana budaya yang kini diartikulasikan oleh masyarakat Toro untuk menegaskan klaim indigenitas mereka dan tuntutan kontrol atas sumberdaya alam setempat. Rezim tradisional pengelolaan sumberdaya alam ini dibentuk oleh sistem zonasi tradisional atas wilayah hutan serta sistem perladangan bergulir yang merupakan pola produksi pertanian yang berlaku di kawasan lahan kering pegunungan ini.
2.1. Sistem Zonasi Wilayah Hutan Secara Tradisional
Secara tradisional, komunitas Toro mengenal zonasi wilayah hutan yang ditentukan menurut ciri-ciri geografis dan vegetasinya maupun jenis akses terhadapnya. Kategorisasi zona hutan secara tradisional ini menciptakan empat jenis hutan, sebagaimana tersebut di bawah ini.
Pertama adalah wana ngkiki, yaitu kawasan hutan di puncak-puncak gunung yang didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Kawasan ini sulit dijamah sehingga tidak ada aktivitas manusia di dalamnya. Meskipun demikian, bagi orang Toro, kawasan ini memiliki arti yang amat penting karena secara kultural dianggap sebagai sumber udara segar (winara). Karena sulit dijangkau, dalam kawasan wana ngkiki ini tidak dikenal hak kepemilikan pribadi (dodoha). Artinya, hasil-hasil hutan yang ada di kawasan ini bisa diambil oleh siapa saja (“milik umum”) karena tidak ada jenis aktivitas produksi apapun yang menyebabkan lahirnya hak kepemilikan (dodoha).
Kedua adalah wana, yaitu kawasan hutan belantara yang masih perawan. Secara kultural, wana tidak boleh dibuka menjadi lahan pertanian karena dianggap sebagai kawasan penyangga kandungan air. Selain itu ia juga merupakan habitat hewan dan tumbuhan yang menjadi sumber kalori dan protein masyarakat, serta bahan obat-obatan dan kebutuhan rumah tangga. Namun berbeda dari jenis hutan pertama (wana ngkiki), dalam kawasan wana ini sudah ada jenis-jenis sumberdaya yang dimiliki secara eksklusif karena sudah diusahakan secara kontinyu. Hal ini berupa pohon damar yang dimiliki oleh orang yang pertama kali menemukan dan mendaras getahnya. Kepemilikan pohon damar ini bersifat permanen dan akan terus diwariskan kepada keturunannya.
Ketiga adalah pangale. Seperti telah disebutkan, pangale adalah kawasan hutan primer yang oleh kondisi topografis, geografis dan kesuburan tanahnya dipersiapkan untuk dibuka sebagai ladang, sedangkan datarannya untuk dijadikan sawah. Karena letaknya yang dekat pemukiman, pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, juga bahan obat-obatan, dan wewangian.
Keempat adalah oma, yakni hutan sekunder yang berasal dari bekas kebun yang telah diberakan untuk waktu lama. Dalam kawasan ini sudah terlekat hak kepemilikan pribadi (dodoha) karena lahan ini merupakan areal yang dipersiapkan untuk diolah lagi menurut urutan pergilirannya. Sepeti telah disebutkan, urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori oma. Pertama oma ntua, apabila lahan itu telah diberakan selama 16 hingga 25 tahun. Mengingat usianya, jenis ini sudah tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih dan dapat diolah kembali sebagai kebun. Kedua oma ngura, yaitu kategori yang lebih muda karena baru diberakan antara 3 hingga 15 tahun. Lahan ini lebih didominasi oleh rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh belum terlalu besar. Ketiga oma ngkuku, apabila bekas kebun baru diberakan tiga tahun ke bawah. Lahan ini masih didominasi oleh rerumputan, ilalalang dan semak belukar.
Seperti terlihat, kategorisasi di atas menentukan bentuk-bentuk akses atas lahan dan hasil hutan. Ada kategori hutan yang sama sekali tidak bisa dibuka dan hanya bisa dimanfaatkan hasil hutannya. Ada pula kategori hutan yang dapat dibuka dan masih belum ada hak kepemilikannya. Dan ada pula kategori hutan dan jenis-jenis hasil hutan yang sudah ada hak kepemilikannya sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang tanpa seijin pemiliknya.
2.1. Sistem Perladangan Bergulir
Pada komunitas Toro, praktik pengelolaan lahan dalam pola produksi perladangan bergulir dilakukan dalam satuan individual rumahtangga. Meski demikian, hal itu tetap meniscayakan kerjasama yang melibatkan banyak tenaga kerja, terutama saat pembukaan hutan. Hal ini bisa dimengerti karena pembuatan sebuat plot lahan pertanian dari kawasan hutan rimba tropis sama sekali bukan hal yang mudah. Proses kolaborasi yang padat karya inilah yang dikoordinasikan dan mendapatkan makna kulturalnya melalui fungsi kepemimpinan tradisional yang mengatur lahan hutan mana yang bisa dibuka, kapan waktu pembukaannya, siapa saja anggota kelompok yang terlibat, bagaimana lahan dibagi di antara anggota, begitu juga bagaimana proses pengolahan lahan selanjutnya.
Dalam sistem pertanian ladang bergulir di Toro, lahan diperoleh oleh sebuah keluarga melalui mopangale atau pembukaan pangale. Pangale adalah kategori hutan primer yang secara topografis, geografis maupun kondisi tanah memungkinkan untuk dibuka sebagai kebun pertanian, yaitu berada di lokasi yang datar, tidak jauh dari pemukiman, dan kondisi tanahnya subur. Pembukaan hutan ini dilakukan secara berkelompok (mome ala pale), namun lahan yang telah dibuka akan dibagi secara individual di antara anggotanya sesuai dengan tingkat jerih payahnya.
Selain dari sisi kriteria kelayakan tersebut, secara khusus juga ada aturan-aturan tradisional yang menetapkan lahan-lahan hutan mana yang tidak boleh dibuka sebagai ladang. Secara praktis aturan pembatasan ini memiliki fungsi konservasi ekologis. Salah satu aturan itu adalah larangan membuka lahan di areal-areal yang disebut taolo. Taolo adalah suatu konsep mengenai tempat sakral, yang diidentifikasi umumnya berada di daerah lereng gunung dan kemiringan, daerah sepanjang aliran sungai, daerah mata air, dan daerah lain yang dianggap keramat. Daerah-daerah ini tidak boleh diusik, apalagi dibuka, apabila tidak ingin terkena kutukan (nakamaroa).
Daur dalam sistem perladangan bergulir ini berlangsung menurut tahapan sebagai berikut. Lahan hutan yang sudah dibuka disebut popangalea dan menjadi hak milik orang yang membukanya pertama kali. Hak atas tanah ini akan terus berlaku dan diwariskan kepada keturunannya, meskipun dalam perkembangannya lahan ini tidak digarap lagi dan kembali menjadi hutan. Dengan kata lain, lahan ini tidak berubah menjadi open access karena hak kepemilikan masih melekat padanya.
Lahan yang telah dibuka dan sedang produktif disebut bone atau ladang dan biasanya ditanami padi, jagung atau tanaman pangan musiman lainnya. Setelah beberapa kali musin tanam, kesuburan lahan ini akan terus menurun seiring dengan berkurangnya unsur hara tanah. Lahan yang sudah berkurang kesuburannya akan mulai diistirahatkan (diberakan). Kategori lahan ini disebut balingkea, yakni lahan yang sudah mulai diberakan namun masih bisa dimanfaatkan sesekali untuk tanaman sayuran atau tanaman pangan (pemanfaatan lahan ini disebut mobalingkea). Apabila sudah tidak dimanfaatkan sama sekali, maka ia diistirahatkan dan tidak diolah untuk beberapa lama, ataupun dijadikan sebagai lahan penggembalaan. Balingkea yang sudah diistirahatkan lebih dari satu tahun dan sudah mulai bersemak serta ditumbuhi pepohonan disebut oma. Tergantung sudah berapa lama masa beranya, oma ini dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu oma ngkuku (apabila telah diistirahatkan sekitar 1-2 tahun), oma ngura (apabila telah diistirahatkan sekitar 3-5 tahun), dan oma ntua (apabila telah diistirahatkan selama 16-25 tahun).
Kategori terakhir ini disebut juga pahawa pongko. Vegetasi area ini sudah mirip pangale. Pohon-pohon besar sudah banyak sehingga untuk menebangnya harus menggunakan pongko atau tangga untuk mencapai bagian atas batang pohon yang diameternya lebih kecil. Seperti telah disebutkan, meski telah ditinggalkan untuk waktu lama, lahan yang termasuk dalam kategori oma ini status pemilikannya masih tetap dipegang oleh orang yang membukanya pertama kali dan para keturunannya sehingga tidak bisa sembarangan dibuka orang lain tanpa ijin.
Secara ringkas, daur pengolahan lahan dalam sistem perladangan bergulir ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3
Daur Pengolahan Lahan dalam Sistem Perladangan Bergulir
Di luar kategori di atas terdapat lahan pekarangan atau kebun, yakni lahan dekat pemukiman yang terus menerus diolah sepanjang tahun yang disebut pampa. Biasanya lahan ini ditanami sayur-sayuran untuk kebutuhan konsumsi harian. Karena diolah terus menerus, praktik pinjam garap atas lahan pampa amat jarang dilakukan atau bahkan tidak dikenal sama sekali. Lahan yang di atasnya berlaku praktik pinjam garap dan bagi hasil adalah lahan sawah ataupun lahan bone atau balingkea.
Namun sejak introduksi tanaman tahunan komersial seperti kopi, cengkih dan coklat, maka lahan kering untuk tanaman pangan banyak dikonversi untuk tanaman tahunan, baik yang sebelumnya termasuk dalam kategori bone, balingkea maupun oma. Hal ini menandai bertambahnya lahan yang termasuk kategori pampa dan di sisi lain berkurangnya secara mencolok aktivitas budidaya tanaman pangan di lahan kering. Selain itu, hal itu juga menyebabkan berkurangnya akses atas lahan kering melalui hubungan penyakapan karena sebagian besar lahan ini telah menjadi pampa yang tidak pernah dipinjamgarapkan.
2.3. Bentuk-bentuk Akses atas Lahan yang Berkembang
Selain melalui pembukaan hutan primer (mopangalea), sistem tradisional PSDA di Toro juga mengenal dua bentuk lain dalam akses terhadap lahan. Pertama adalah melalui pewarisan (motira), yaitu pembagian harta di antara keturunan. Dalam hal pewarisan ini harus dibedakan antara lahan yang secara aktual telah dibagikan di antara ahli waris dan telah menjadi hak milik keluarga-keluarga individual, dengan hak akses atas lahan yang belum dibagikan di antara keluarga-keluarga individual dan masih dikuasai oleh keluarga besar.
Dalam hal penguasaan harta oleh keluarga besar ini dibedakan dua jenis penguasaan, yaitu hampupuka dan hampo ompia. Hampupuka adalah penguasaan oleh rumpun keluarga setingkat marga atas lahan milik bersama (disebut ataha), yaitu berupa lahan oma. Semua keluarga individual yang termasuk dalam rumpun ini berhak menggarap lahan oma yang dimiliki bersama. Sebuah keluarga individual dapat membuka sebidang lahan pertanian dalam oma ini, namun ia harus meminta ijin terlebih dulu kepada keluarga besarnya melalui keturunan yang paling senior.
Sedangkan hampo ompia adalah penguasaan harta oleh rumpun keluarga yang lebih kecil, yakni hanya menjangkau hubungan antar sepupu satu nenek. Rumpun keluarga ini menguasai harta bersama yang disebut dodoha, yang dalam hal ini berupa harta dalam rumah seperti emas, dulang, dan mbesa.
Selain melalui hubungan pewarisan, bentuk akses terhadap lahan yang lain adalah melalui hubungan-hubungan penyakapan (tenancy) dan alih kepemilikan yang variasinya sangat kompleks. Tabel berikut ini secara ringkas memaparkan bentuk-bentuk akses atas lahan yang dikenal dewasa ini dan keberlakuannya di antara ketiga etnis yang ada di Toro.
Tabel 1
Bentuk-bentuk Akses Atas Lahan
Kelompok Etnis | Pengertian | ||
Moma | Uma | Rampi | |
Melume | Mebolo | Pemalu | Meminjam garap atas lahan oma untuk dibuka dan diolah. |
Mehabi | Mesabi, Mepulu | Mesabi | Mohon ijin memakai, sifatnya umum, tidak cuma lahan. Istilah ini juga biasa dipakai untuk pinjam garap lahan sawah. Catatan: praktik pinjam garap lahan ini tidak berlaku untuk pampa, yaitu lahan kebun yang sudah ditanami tanaman tahunan. |
Nahodi | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | Memberi ganti ala kadarnya untuk alih kepemilikan lahan secara permanen (harga kekeluargaan). Catatan: Penduduk menolak menyebut transaksi ini sebagai jual beli, melainkan memakai istilah “memberi ganti kecapekan” kepada orang yang telah membuka lahan. |
Naadai | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | Alih kepemilikan lahan secara permanen melalui transaksi jual beli dengan harga pasar yang berlaku. |
Notagala | Kakamu, Pentoe | (?) Lebih sering memakai istilah Moma atau bahasa Indonesia (gadai) | Gadai alias penjaminan lahan untuk meminjam suatu barang atau uang. Catatan: Untuk etnis Uma disebut kakamu kalau barang yang dipinjam itu benda mati dan pentoe kalau berupa benda hidup. Ada ketentuan penjaminan yang berbeda sesuai perbedaan barang yang dipinjam ini. |
Haipotiraka, Ahirara | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | Pembagian lahan kepada orang lain karena kemurahan hati. |
Raodo, Kuhaodi | Keodo | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | Bagi hasil yang jumlahnya tidak ditentukan (berdasar kemurahan hati). |
Gagu huma ngata | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | (?) Lebih sering memakai istilah Moma | Sumberdaya milik bersama seluruh anggota komunitas. |
3. Penutup
Tulisan ini telah mendeskripsikan struktur sosial-budaya komunitas Toro dan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam mereka. Saat ini komunitas Toro dikenal luas baik di level nasional maupun bahkan internasional sebagai salah satu komunitas yang berhasil merevitalisasi pranata tradisional mereka untuk dijadikan sebagai landasan otonomi desa maupun pengelolaan SDA berbasis komunitas.
Dinamika perjuangan komunitas Toro dalam revitalisasi pranata tradisional ini dan bentuk-bentuk politik kultural yang diambil oleh komunitas ini sepanjang perjuangan tersebut telah saya tulis di berbagai kesempatan.[8] Secara berangsur, tulisan-tulisan tersebut akan saya rangkumkan untuk ditampilkan di sini. []
Daftar Pustaka
Acciaioli, Gregory L. 2001. “Memberdayakan Kembali ‘Kesenian Totua’: Revitalisasi Adat Masyarakat To Lindu di Sulawesi Tengah”, Jurnal Antopologi Indonesia, 65.
Aragon, Lorraine V. 2000. Fields of Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Arkoun, Mohammed. 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS.
Garang, J. 1985. Dunia Kulawi: Masyarakat, Budaya dan Gereja di Sulawesi Tengah. Edisi Khusus Majalah Peninjau, 10, 2 dan 11, 1.
Ngera, Pasende. 1989. Desaku. Naskah Tulisan Tangan, Tidak Diterbitkan, 123 halaman.
Shohibuddin, Moh. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sebagai Proses Reproduksi Budaya: Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Tesis Master Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor.
Shohibuddin, Moh. 2005a. “Dimensi Etis dalam Revitalisasi Identitas Ngata Untuk Klaim atas Teritori dan Sumberdaya Lokal: Perjuangan Otonomi Desa di Sebuah Komunitas Tepi Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.” Paper disampaikan pada Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Etika, Politik & Demokrasi, Diselenggarakan oleh Percik Salatiga, 1-4 Agustus 2005.
Shohibuddin, Moh. 2005b. “Aspek Keadilan Gender dalam Perjuangan Otonomi Desa: Belajar dari Pengalaman Ngata Toro di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.” Paper disampaikan pada Roundtable Discussion Mengenai “Indikator Demokrasi Sebagai Kriteria Evaluasi Kinerja Pemerintahan Daerah,” diselenggarakan olehYayasan Sains Bogor, Friedrich Ebert Stiftung, dan Dirjen Kesbangpol Depdagri RI, Bogor 29-30 September 2005.
Shohibuddin, Moh. Forthcoming. “Discursive Strategies and Local Power in the Politics of Natural Resource Management: Case of Moma Sub-ethnics Communities in Western Margin of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi.” Paper akan dipresentasikan pada 11th Biennial Conference of International Association for the Study of Common Property, Bali 19-23 Juni 2006.
[1] Dalam mitos setempat, ada variasi mengenai rute perjalanan pengungsian ini sebelum akhirnya mencapai lembah Kulawi.
[2] Untuk narasi selengkapnya atas mitos asal-usul ini lihat Ngera (1989); dan lihat Shohibuddin (2003) untuk analisisnya.
[3] Kisah pemindahan paksa (involuntary resettlement) ini banyak terjadi pada tahun 70-80an terhadap berbagai etnis terisolir di Sulteng, tanpa disertai penyiapan kultur dan bimbingan teknis untuk beradaptasu dengan ekosistem yang baru (misalnya dari kultur ekosistem huma ke kultur padi sawah). Hal ini melahirkan problem sosial laten yang akhirnya meledak beberapa dekade kemudian. Contoh kasus yang menonjol adalah konflik areal Dongi-dongi yang melibatkan etnis Daa dan etnis Kulawi Selatan yang dipindahkan ke dataran Palolo.
[4] Istilah Maradika memiliki dua pengertian, yaitu: (1) sebutan untuk lapisan sosial kaum bangsawan seperti diuraikan di atas, dan (2) sebutan untuk jabatan sebagai kepala suku seperti akan diuraikan di bawah.
[5] Kedudukan perempuan sebagai pabolia ada terkait dengan status kebangsawanan yang menentukan nilai maharnya dalam perkawinan berikut segala keistimewaan yang melekat padanya. Anak yang dihasilkan dari sebuah perkawinan status sosialnya ditentukan oleh status kebangsawanan ibu dan apakah mahar yang mencerminkan status sosialnya itu dipenuhi atau tidak. Inilah yang membuat perempuan dijuluki penyimpan dan penerus adat (pabolia ada) karena menjamin berlangsungnya tatanan tradisional yang bersifat hirarkis. Selain itu, ia juga melandasi logika resiprositas tradisional di antara kerabat luas pengantin pria dan wanita dan di antara mempelai ini sendiri yang berporos pada tukar menukar mahar. Hal ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut.
[6] Selengkapnya mengenai berbagai aspek sosio-kultural yang membentuk integrasi sosial masyarakat Toro dalam lingkungan tradisionalnya ini lihat Shohibuddin (2003), Bab 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar